MAGELANGEKSPRES.ID – Meninggalkan puasa Ramadan karena udzur syar’i seperti sakit, safar atau nifas tetap harus mengganti atau qadha puasa sebanyak hari yang ditinggalkan. Namun kapan kita diperbolehkan qadha puasa, apakah setelah Ramadan yakni bulan Syawal atau pada bulan-bulan lainnya? Agar tidak salah dan bisa mengerjakan qadha sesuai syariat simak keterangan berikut ini!
Qadha Puasa Ramadan Boleh Ditunda
Qadha puasa Ramadhan tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Syaban, asalkan sebelum masuk Ramadan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah Aisyah pernah menunda qadha puasanya sampai bulan Syaban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
Aku masih memiliki utang puasa Ramadan. Aku tidaklah mampu mengqadhanya kecuali di bulan Syaban. Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qadha Ramadan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qadha Ramadan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Taala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS. Al Muminun: 61)
Mengakhirkan Qadha Ramadan Hingga Ramadhan Berikutnya
Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qadha setelah Ramadan. Setelah Ramadan sampai bulan Syaban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qadha puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qadha Ramadan hingga Ramadan berikutnya, maka dia cukup mengqadha puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafii mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qadha puasa dengan sengaja, maka di samping mengqadha puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqadha. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz —pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, Apa hukum seseorang yang meninggalkan qadha puasa Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qadha tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qadha atau dia memiliki kewajiban kafaroh?
Syaikh Ibnu Baz menjawab, Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa taala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu anhum seperti Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
Namun apabila dia menunda qodhonya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho puasanya.
Dapat disimpulkan bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qadha puasa Ramadan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban :
(1) Bertaubat kepada Allah
(2) Mengqadha puasa
(3) Fidyah
Wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia qadha. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit atau menyusui sehingga sulit menunaikan qodho), sehingga dia menunda qadha Ramadan hingga Ramadan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqadha puasanya saja.
Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqadha Puasa
Apabila kita memiliki kewajiban qadha puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qadha tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qadha puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qadha dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu Abbas mengatakan, Tidak mengapa jika (dalam mengqadha puasa) tidak berurutan. (*)