JAKARTA, MAGELANGEKSPRES.COM – Pendakwah, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mencoba berikan pernyataan tegas terkait perbedaan penetapan Idul Adha 1443 H di Indonesia dan di Arab Saudi.
Menurut Ustaz Adi Hidayat ada dua pendapat terkait penetapan Idul Adha yang tidak perlu diperdebatkan.
Pasalnya, penetapan Idul Adha baik Arab Saudi maupun Indonesia sudah memiliki dasarnya masing-masing.
Diketahui, penetapan perayaan Idul Adha Arab Saudi dan Indonesia memiliki rentan waktu satu hari.
Hari Raya Idul Adha 1443 H di Indonesia jatuh pada Minggu, 10 Juli 2022. Sedangkan Arab Saudi, Idul Adhanya jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022.
Menyikapi hal ini, Ustaz Adi Hidayat berikan tanggapannya, pernyataan pendakwah kondang yang biasa disapa UAH ini kemudian diunggah di kanal YouTube: Puasa Arafah Harus Sesuai Wukuf di Mekah atau Keputusan Pemerintah – Ust Adi Hidayat, diunggah pada 30 Juni 2022.
“Hari arafah itu tanggal berapa? 9. Ingat ya, suka agak keliru, sebagian orang mengatakan shoum arafah. Kalau cuma disebutkan, Nabi mengatakan syiam arofah, puasa arofah,” ujar UAH.
“Arafah itu menunjuk pada momentumnya, ya momentum orang wukuf. Jadi kalau bahasanya puasa arafah, maka gak ada penafsiran,” ucapnya.
Jika berpatokan pada momentum, semua umat muslim di seluruh negeri harus berpuasa bersamaan dengan orang wukuf.
“Jadi begitu di Saudi wukuf sekarang, kita ikut puasanya di hari itu. Jelas ya, itu kalau tidak menggunakan ‘Yaum’. jelas UAH.
Tapi kalau menggunakan ‘Yaum’, Puasa arafah akan melekatkan sesuatu pada waktunya, bukan momentumnya.
“Waktu orang wukuf tanggal berapa, 8 apa 9? 9 ya. Jadi orang wukuf di tanggal 9 Dzulhijjah,” tegas UAH.
“Artinya kalau di satu tempat, satu daerah, satu negara sudah masuk ke tanggal 9 Dzulhijjah, sekalipun tidak sama dengan tempat orang wukuf sekarang di Saudi, maka itu sudah harus menunaikan puasanya,” samnung Adi Hidayat.
Jadi bisa disimpulkan jika jatuh puasanya berdasarkan pada tanggalnya, bukan pada momentum wukufnya.
“Misal sekarang di Saudi. Misal mohon maaf pemerintah kita menetapkan waktu misalnya, awal Dzulhijjah beda dengan Saudi, misal. Karena zonanya, misalnya ada perbedaan tertentu, dalam hal tertentu, kondisi tertentu, misal saja,” ucapnya.
“Maka yang diikuti saat puasa Arofah itu bukan ikut ke yang wukuf, bukan waktu Saudi, tapi waktu di sini,” sambungnya.
Dari segi penunaiannya, bahkan ulama-ulama Saudi pun memberikan fatwa jadi kalau di suatu negara zona waktunya berbeda jauh, tidak terlampau dekat yang bisa melahirkan perbedaan waktu, maka waktu di negara tersebut yang diikuti.
“Kecuali kalau waktunya dekat, sekitaran teluk, gitu kan, UAE, Qatar, bahkan kami sampai ke Libya. Itu kalau Saudi musim haji, sudah ikut waktu Saudi, ya. Nggak ribut-ribut lagi.
Terkait perbedaan Idul Adha ini, pendakwah Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya pernah berikan tanggapan. Ternyata perbedaan Idul Adha ini sudah pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
Buya Yahya menyampaikan terkait perbedaan Idul Adha ini di akun YouTube Al-Bahjah TV, dengan judul: Idul Adha Ikut Pemerintah Indonesia Atau Saudi Arabiah ? – Buya Yahya Menjawab, yang diunggah pada 21 Agustus 2018.
Dalam keterangannya, Buya Yahya membahas soal puasa Arafah yang biasa dilakukan pada 9 Dzulhijah.
“Kalau anda berada di Makkah, maka puasa anda bareng dengan orang wukuf di Arafah, karena anda ada di Saudi,” ujarnya.
“Kalau anda ada di luar Saudi, puasa anda (tetap) tanggal 9 . Cuma di Indonesia tanggal 9 itu kapan?,” sambungnya.
Buya Yahya juga menekankan jika orang Indonesia hendak mengikuti 9 Dzulhijah di Arab Saudi maka tidak salah karena hal itu bisa mengacu pada pendapat Imam Malik. Diketahui ada dua pendapat dari Imam Malik dan Imam Syafii terkait penetapan Idul Adha ini.
“Artinya apa, hari ini anda puasa arafah, besok kita sembelih Qurban bareng Saudi, sah secara fikih. Jangan ada yang mengatakan ini salah,” ujarnya.
Lanjut Buya Yahya, tapi seseorang contohnya di Indonesia juga tetap boleh mengikuti puasa sesuai dengan ketentuan pemerintah negaranya tanpa harus mengikuti Arab Saudi, karena hal itu berdasarkan pendapat dari mazhab imam Syafi’i secara fikih, dan itu tetap sah.
“Jika ada perbedaan pendapat semacam ini, mana yang boleh anda pilih? secara fikih anda boleh (pilih) salah satu,” ujar Buya Yahya. (dis)