Kisah Perjalanan Pulang Mahasiswa Indonesia Asal Temanggung yang Kuliah di Sudan: Evakuasi Mencekam

oleh
MENEMUI. Melinda saat menemui tetangga dan sanak saudaranya di rumahnya Kecamatan Tembarak, Senin, 1 Mei 2023.(Foto:Setyo wuwuh/temanggung ekspres)
MENEMUI. Melinda saat menemui tetangga dan sanak saudaranya di rumahnya Kecamatan Tembarak, Senin, 1 Mei 2023.(Foto:Setyo wuwuh/temanggung ekspres)

TEMANGGUNG, MAGELANGEKSPRES.ID – Sempat hilang kontak selama 40 jam, membuat kedua orangtua dan sanak saudara Melinda Retno Diningrum merasa cemas.

Bahkan kedua orangtua hanya mampu berdoa agar buah hatinya bisa selamat dan pulang ke tanah air.

Melinda Retno Diningrum adalah salah satu mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Sudan. Kondisi perang yang saat ini sedang melanda Sudan, membuat kedua orangtua dan sanak saudara merasa cemas akan keselamatan dari Melinda.

“Pertama mendapatkan kabar jika di Sudan sedang terjadi perang, saya langsung teringat kondisi anak saya,” ungkap Mokholil ayah dari Melinda.

Kecemasan itu katanya, semakin menjadi saat dirinya mulai kehilangan kontak dengan anak perempuannya yang sebelumnya sudah memberikan kabar.

“Kalau tidak salah pada tanggal 15 itu saya langsung dapat kabar dari anak saya, dan kabar serta informasi dari Sudan saya pantau terus melalui grup WA,” tuturnya.

Ia mengaku, bisa kembali bernafas lega setelah kembali mendapatkan kabar baik dari anak perempuannya, kabar itu didapatkan setelah menunggu selama kurang lebih 40 jam.

“Memang sempat hilang kontak kira-kira dua hari, informasinya setelah ada perang, listrik di sana mati sehingga tidak bisa komunikasi,” tuturnya.

Menurutnya, kabar baik terus didapatkan, bahkan upaya pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi anaknya dan warga lainnya di Sudan sudah positif didapatkan.

“Setelah ada kepastian saya merasa lega, saya dan istri hanya bisa berdoa agar semua bisa selamat, dan Alhamdulillah saat ini anak saya sudah kembali ke rumah, kami sangat berterima kasih kepada pemerintah yang sudah sangat cepat mengevakuasi warga negara Indonesia dari Sudan,” ucapnya.

Sementara itu Melinda Retno Diningrum bercerita, mulai tanggal 15 April kondisi Sudan sudah mulai mencekam, suara dentuman bom dan senapan mulai sering terdengar.

“Seingat saya pertama kali suara ledakan terdengar jam 9 pagi pada tanggal 15 April itu, suaranya sangat keras sekali, entah itu bom atau apa,” ceritanya.

Melinda yang juga menjadi Ketua Persatuan Pelajar Putri Indonesia Sudan, mengaku sangat ketakutan dengan kondisi yang terjadi di Sudan. Apalagi setelah listrik mati, air mati dan fasilitas lainnya tidak bisa digunakan lagi kondisinya semakin mencekam.

Ia menuturkan, selama kurang lebih lima hari dirinya beserta warga Indonesia lainnya dilanda rasa cemas dan ketakutan, lantaran baku tembak tidak pernah berhenti. Suara helikopter dan pesawat tempur begitu keras terdengar.

“Suara dentuman bom, rudal dan tembakan juga sangat jelas terdengar dan semakin mendekat ke pemukiman,” tuturnya

Ia mengaku, meskipun perang tersebut tidak menyasar warga sipil, namun rasa ketakutan tetap ada, karena suara tembakan dan dentuman bom tidak pernah berhenti.

Menurutnya, pada dari hari ke hari evakuasi semakin menjadi, serangan semakin sering, di atas jam 12 serangan semakin menjadi. Hari ke lima mulai merasa tidak tenang, serangan semakin membuat kondisi tidak karuan, listrik mati air mati, empat hari tidak ada air.

“Mulai putus asa, kami juga sudah membentuk relawan mengumpulkan uang berhasil Rp160 juta, tapi tidak bisa dibelanjakan susah, bank tutup, logistik belanja juga tutup, selama itu kami makan seadanya,” katanya.

Hingga akhirnya mendapatkan kabar baik pada hari ketujuh tepatnya tanggal 23 April, semua warga Indonesia diperintahkan untuk bersiap-siap.

“Semua barang ditinggal kecuali dokumen berharga, dan satu pasang pakaian yang dibawa selain itu tidak diperbolehkan,” jelasnya.

Ia menambahkan, saat itu tidak sedikit yang sudah mulai ketakutan dan mulai putus asa, bahkan sebagian sudah ada yang membuat surat wasiat. Menurutnya, evakuasi dilakukan dengan senyap, pada malam hingga menjelang subuh

“Evakuasi senyap, berjalan dari rumah sampai tempat, diminimalisir suara, minta jeda kemanusiaan tapi tetap ada kriminal lain, setengah tiga, aman, lari mengikuti, sampai di masjid tempat evakuasi, langsung bareng 13 bus, kondisi mencekam, cuma berangkat 6 bus selama 17 sampai 20 jam hanya minum air putih dan makan mie instan,” ceritanya.

Selama perjalanan pulang, dia bermalam sehari perjalanan laut 24 jam dikawal PBB untuk jaminan keamanan, kapal tentara AU Arab Saudi, Jeddah sampai KBRI Jeddah, ke hotel, sehari langsung ke bandara akhirnya. 300 orang kloter pertama ke Indonesia jam 3 sore, sampai Indonesia subuh.

Sampai di Pondok Gede, diswab, divaksin dan tes psikologi negatif langsung dapat kamar.

“Sehari istirahat baru boleh keluar dari asrama haji, mengajukan pemprov untuk bantuan pemulangan mahasiswa sudah ketemu, terima kasih pemerintah, solusinya terbaik, meskipun kuliah belum selesai. Masih ada mahasiswa, masih ada sekitar 25 orang TKI, entah ditahan atau memang tidak mau pulang,” tutup mahasiswa Universitas Internasional Afrika (IUA) Fakultas Syariah Wal Qonun jurusan Syariah Islamiyah ini. (set)

No More Posts Available.

No more pages to load.