MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.ID – Mudal atau Sendang Hageng Tirta Kencana merupakan pemandian yang berada di Dusun Gatak, Kelurahan Mungkid, Kabupaten Magelang. Lokasi tepatnya berada di belakang Pabrik Kertas Blabak ini ternyata menyimpan segudang sejarah peradaban era kolonial Belanda.
Hingga saat ini bangunan tersebut masih kokoh dan digunakan sebagai tempat rekreasi. Pada tahun 2019 tempat ini diberi nama Sendang Hageng Tirta Kencana yang diberikan oleh Paguyuban Sirad Gatak. Mereka adalah pengurus kolam itu hingga kini.
Di masa lalu, Sendang sering dikaitkan dengan pusat peradaban. Hal ini dibuktikan lokasi pabrik kertas dan stasiun kereta api blabak yang berada persis di sekitar pemandian.
Sendang Hageng memiliki makna Sendang yang besar. Sedangkan Tirta Kencana merupakan wujud doa warga agar air yang melimpah menjadi sumber kesejahteraan yang merupakan berkah Allah.
Dikisahkan pada abad 16 M, pemandian klasik ini dalam riwayatnya berkaitan dengan pengaruh dua kekuasaan, yakni kekuasaan Keraton Mataram dan kekuasaan kolonial Belanda.
Konon dulu antara tahun 1613 hingga 1645 dikisahkan ada seorang petani yang sedang menggarap sawah dengan peralatannya luku, garu, dan sepasang kerbau sebagai penariknya. Selain itu cemeti, caping, serta cangkul yang menemani. Di tengah proses pembajakan tanah itu tiba-tiba ia menghilang tanpa jejak gejala dan suara tersisa.
Penduduk sekitar pun berusaha mencari-cari ke mana ia pergi. Timbul lah beragam prasangka dan perkiraan yang kemudian beredar di masyarakat.
Hingga pada saat yang sama di tempat yang digarap pembajak tadi tampaklah air mulai memancar keluar dengan debit yang semakin besar dan deras hingga meluber menggenangi lahan sekitar.
Dalam bahasa Jawa, orang biasa menyebut peristiwa air yang keluar atau hewan yang keluar dalam jumlah banyak dari satu sumber yang kemudian memancar atau bertabaran disebut dengan mubal atau mudal. Terjadilah kemudian kesepakatan warga, tempat fenomena alam itu muncul dinamakan Mudal.
Disinyalir Pak Tani dan kerbaunya itu tersedot air. Setelah berselang waktu yang tidak lama Pak Tani, kerbau, beserta seluruh peralatannya ditemukan utuh namun sudah tidak bernyawa di hilir sungai Opak di daerah Kretek, Parangtritis, Bantul, Yogyakarta Hadiningrat.
Masyarakat yang menemukan jenazah tersebut melaporkan kepada penguasa Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung.
Sultan Agung pun memerintahkan untuk merawat jenazah seperti adat keraton dengan upacara sebagaimana mestinya sehingga kalau ditelisik itu terjadi kisaran waktu antara tahun 1613 hingga 1645, kala Sultan Agung memerintah Mataram.
Laporan masyarakat pun ditindaklanjuti oleh Sultan. Dia berkunjung ke Mudal Blabak, terlihat mata air mulai melebar sehingga dibentuklah saluran pembuangan (prototipe irigasi), berupa parit yang lambat laun menyerupai kali, sampai sekarang disebut Kali Agung atau Kaligung, bermuara di Kali Elo.
Pertanda lain yang dibubuhkan oleh Sultan adalah penanaman Ringin Putih di seberang atas mata air sebagai pelindung dari erosi tanah di atasnya. Pada perkembangannya yang alamiah, ringin putih ini dikelilingi oleh Ringin Kurung dan Ringin Tali/oyot, sehingga tampak rimbun dan rindang.
Sultan Agung pun menisbatkan mata air Mudal Blabak sebagai tempat khusus kasepuhan Mataram. Ia juga memberikan amanat kepada seorang punggawanya bernama Kyai Sempani untuk mengelola sekaligus menjadi juru kunci Mudal Blabak.
Di tempat ini pula sering digunakan untuk pertapaan para pesakti dari keraton Solo maupun Yogyakarta. Belakangan diketahui Kyai Sempani yang dikenal dengan nama Kyai Bendho-Pacul, makamnya terdapat di puncak gunung Lemah wilayah Desa Bojong Kecamatan Mungkid.
Bangunan pemandian juga selain arsitekturnya lawas materialnya juga lawas seperti batu bata besar untuk temboknya dan kayu jati asli pada bagian atap.
Ornamen lawas tersebut sudah habis tidak diketahui rimbanya, ada kemungkinan dirampeti kontraktor yang sempat akan menggarap pemandian namun mangkrak di tengah jalan.
Soko bagian dalam belakang dekat kolam yang sekarang dari bahan pipa besi juga dulunya adalah soko kayu jati, namun diganti oleh kontraktor tersebut.
Tembok benteng yang mengitari pemandian adalah asli peninggalan jaman kolonial, kecuali di bagian selatan dan barat yang ketinggiannya ditambah 1 meter, tapi tembok bawah masih asli, bangunan pemandian masih asli, genteng pun masih asli kecuali beberapa yang diganti karena kebocoran.
Dulu diceritakan juga ada tangga berundak di sekitar sumber, tampak indah artistik namun sangat fungsional untuk dipakai oleh masyarakat. Area sumber dan tangga berundak tersebut sudah tidak bisa diakses karena ditutup cor. (mg1)