MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.ID – Wacana Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang akan mengabulkan sistem pemilu dengan proporsional tertutup mulai memicu polemik di berbagai kalangan. Sebab, keputusan yang menghasilkan pro kontra itu dirasa membatasi konsep demokrasi yang telah dilaksanakan hingga saat ini.
Dosen Jurusan Hukum Universitas Tidar Magelang Meydora Cahya menjelaskan, adanya sistem pemilu dengan proporsional tertutup dirasa mempersempit kebebasan masyarakat dalam keikutsertaannya pada konstitusi.
Terlebih lagi, para anggota legislatif yang duduk di parlemen akan didominasi oleh keputusan dari partai politik (parpol). Hal ini tentu mencederai prinsip demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat karena tidak teraplikasikan dengan baik.
“Terakhir pelaksanaan pemilu dengan sistem ini di tahun 1999 dan telah berubah sejak 2004 dengan sistem pemilu terbuka dan digunakan terus menerus hingga saat ini, ya kalau kembali berarti ada bukti kemunduran,” katanya saat dihubungi, Jumat, 10 Maret 2023.
Dia menjelaskan, jika ke depan metode ini benar diaplikasikan maka akan semakin membatasi masyarakat dalam menentukan calon-calon pemegang kursi legislatif. Pemilih bahkan tidak akan pernah tahu seberapa kualitas dan kredibilitas para calon legislatif tersebut.
“Kalau sistem tertutup, para dewan hanya memiliki tanggung jawab kepada parpol karena penentu porsinya dari elite politik, sedangkan jika dengan sistem terbuka para legislatif tidak hanya memiliki amanah di parpol tetapi juga masyarakat yang menaruh harapan kepada mereka,” tambahnya.
Menurut mantan advokat firma hukum ternama, OC Kaligis ini, terlihat bahwa kondisi perkembangan zaman dan keterbukaan informasi yang begitu pesat sebenarnya malah dapat digunakan sebagai media untuk memperkenalkan para tokohnya.
“Sekarang transaksi elektronik sudah bebas dilakukan, kader-kader ini aktif menggunakan media sosial untuk memperkenalkan representasi dirinya.
Banyak juga yang berlomba-lomba turun ke masyarakat untuk menunjukkan kemampuannya, sehingga ini bisa dijadikan ajang masyarakat menentukan siapa yang paling cocok untuk menjadi penyambung lidah rakyat kepada pemerintah,” jelasnya.
Ia berpendapat jika putusan itu dikabulkan maka keterlibatan masyarakat akan semakin sempit. Tentunya aspirasi masyarakat yang diharapkan melalui calon legislatif tidak terjamin secara maksimal. (mg4)