MAGELANGEKSPRES.ID – Sering dalam kajian kita mendengar ustaz menyebutkan istilah sujud sahwi. Namun seringkali kita belum paham apa pengertian sujud sahwi, hukumnya, tata cara melaksanakannya dan kapan sujud sahwi tersebut dilaksanakan.
Padahal sujud sahwi wajib dilakukan bagi setiap muslim tatkala ada persoalan dengan sholat yang dikerjakan.
Sujud Sahwi
1. Pengertian Sujud Sahwi
Dalam Kitab Al-Fiqhu Al-Muyassar dijelaskan bahwa. yang dimaksud sujud sahwi adalah sujud yang diminta atau yang dituntut untuk dikerjakan di akhir sholat dengan tujuan untuk menutup atau menambal kekurangan yang terjadi di dalam sholat disebabkan adanya kekurangan atau kelebihan atau keragu-raguan.
2. Dalil Sujud Sahwi Disyariatkan
1.1. Dalil yang menunjukkan bahwa sujud sahwi disyariatkan adalah sabda Nabi shallallâhu ‘alayhi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.
“Apabila salah seorang di antara kalian lupa dalam sholatnya, maka hendaknya ia melakukan sujud dua kali.”
Lupa yang dimaksud adalah yang terlewat rakaat sholatnya atau ada yang kelebihan atau kekurangan. Misalnya, kita duduk tasyahud tetapi kita berdiri ke rakaat berikutnya (kalau terjadi karena lupa) maka disyariatkan untuk melakukan sujud sahwi.
2.2 Dalil kedua adalah perbuatan Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wa sallam. Beliau shallallâhu ‘alayhi wa sallam pernah lupa ketika shalot berjamaah bersama para sahabat. Kemudian Beliau shallallâhu ‘alayhi wa sallam mengerjakan sujud sahwi.
Mendasari dalil-dalil tersebut maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâah telah bersepakat secara ijma’ (konsensus) bahwa sujud sahwi disyariatkan dalam agama Islam.
3. Sebab Seorang Disyari’atkan untuk Mengerjakan Sujud Sahwi
3.1 Terjadinya kelebihan di dalam sholat.
3.2 Terjadinya kekurangan di dalam sholat.
3.3 Adanya keragu-raguan di dalam sholat.
4. Kapan Sujud Sahwi Wajib untuk Dikerjakan dan Kapan Disunnahkan
Para ulama penulis Kitab Al-Fiqhu Al-Muyassar menjelaskan bahwa sujud sahwi wajib dikerjakan oleh seorang hamba karena sebab-sebab berikut ini :
4.1 Apabila Seorang Muslim atau Muslimah Menambah Perbuatan dari Jenis Amalan dalam Sholat.
Seseorang menambah perbuatan dan jenis amal dalam sholat seperti menambah rukuk, sujud, berdiri atau duduk meskipun waktunya cukup singkat seperti seukuran lama seseorang duduk istirahat.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallâhu ‘alayhi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullâh ibnu Mas’ud radhiyallâhu ta’âla ‘anhu, ia menceritakan,
“Abdullâh ibnu Mas’ud menceritakan, Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wa sallam pernah dalam sholat bersama kami lima raka’at. Ketika Rasulullah telah selesai dari sholat, maka terdengar suara gaduh di antara mereka. Maka Beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian?’.
Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah adakah sesuatu yang ditambahkan dalam sholat?’
(Semestinya empat rakaat tapi jamaah mendapati sholatnya Rasulullah lima rakaat) maka mereka bertanya, “Wahai Rasulullah apakah ada yang ditambahkan di dalam shalat?”
Rasulullah menjawab, ‘Tidak ada’. Maka mereka berkata, ‘Sesungguhnya engkau wahai Rasulullah telah melakukan sholat lima raka’at.’ Lalu Rasulullah berbalik kembali menghadap ke kiblat, lalu melakukan sujud dua kali, kemudian salam. Selanjutnya Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian, aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Apabila salah seorang di antara kalian mengalami lupa dalam sholatnya maka hendaknya dia sujud dua kali.”
Keadaan seperti ini, yakni menambah perbuatan dari jenis amalan sholat maka mewajibkan seorang muslim untuk mengerjakan sujud sahwi.
4.2 Apabila Seseorang Mengucapkan Salam Sebelum Sholatnya Sempurna.
Misalnya, mestinya kita mengerjakan sholat Isya atau Ashar atau Zhuhur empat rakaat namun baru tiga rakaat (berarti kurang). Atau misalnya seseorang mengerjakan sholat Maghrib yang semestinya tiga rakaat, tetapi baru dua rakaat kemudian salam. Seseorang mengucapkan salam sebelum sholatnya sempurna, maka dalam hal ini dia wajib mengerjakan sujud sahwi.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Husain radhiyallâhu ta’âla ‘anhu, dia berkata,
“Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wa sallam mengucapkan salam pada rakaat ketiga dari shalat Ashar, kemudian Beliau bangkit lalu masuk rumah, lalu seorang laki-laki yang kedua tangannya panjang berdiri seraya berkata, ‘Apakah shalat Ashar tadi diqashar wahai Rasulullah?’ Maka Rasulullah keluar (dalam keadaan dibuat gusar) kemudian Beliau shalat satu rakaat yang tertinggal, kemudian mengucapkan salam, kemudian sujud sahwi dua kali, kemudian salam.” (Hadits shahih riwayat Muslim no. 574).
4.3 Melakukan Kesalahan Bacaan yang Dapat Mengubah atau Merusak makna bacaan Alquran karena lupa.
Kalu seseorang melakukan kesalahan dalam membaca ayat Alquran karena lupa maka wajib sujud sahwi. Berbeda kalau sengaja (tidak lupa) lalu mengubah bacaan ayat Alquran dan kerusakan makna, maka sholatnya batal harus mengulang dari awal.
4.4 Meninggalkannya kewajiban Satu Diantara Perkara-perkara yang Wajib dalam Sholat
Seperti bacaan tasyahud awal, doa ketika rukuk dan sujud termasuk perkara-perkara wajib dalam sholat maka jika ditinggalkan maka wajib mengerjakan sujud sahwi.
Dalilnya adalah hadits riwayat Ibnu Buhainah radhiyallâhu ta’âla ‘anhu,
“Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wa sallam sholat mengimani kami dua rakaat dari sholat-sholatnya, kemudian beliau berdiri sehingga tidak duduk (untuk tasyahud awal), lalu orang-orang berdiri bersama Rasulullah.
Ketika Rasulullah telah menyelesaikan sholat dan kami menunggu salam Beliau, maka Beliau bertakbir sebelum salam lalu Beliau sujud sahwi dua kali, ketika Beliau duduk (tasyahud akhir) kemudian mengucapkan salam.”
(Hadits Muttafaqun alaih).
Jadi ada kewajiban dalam sholat yang ditinggalkan seperti duduk tasyahud awal, mestinya duduk namun Rasulullah berdiri menuju ke rakaat ketiga lalu dalam rangka menutup kekurangan yang terjadi dalam sholat Beliau mengerjakan sujud sahwi sebelum salam (dua kali sujud kemudian salam).
Hadits tersebut menunjukkan dan menetapkan bahwa sujud sahwi bagi siapa saja yang meninggalkan tasyahud awal maka wajib-wajib sholat yang lain juga diqiyaskan kepadanya.
Maksudnya jika terjadi kesalahan bagi orang yang sholat sendirian maupun berjamaah meninggalkan perkara-perkara yang wajib dalam sholat seperti tasyahud awal atau seperti bacaan tasbih ketika rukuk atau bacaan doa dan dzikir di antara dua sujud maka mengharuskan atau mewajibkan seorang muslim untuk mengerjakan sujud sahwi.
4.5 Terjadi Keragu-raguan pada Jumlah Rakaat yang Dikerjakan
Apabila seseorang ragu-ragu dengan jumlah rakaat sehingga tidak mengetahui dengan pasti berapa rakaat yang telah dikerjakan dari sholatnya. Apakah sudah sholat dua rakaat ataukah sudah tiga rakaat? Ketika sholat Ashar, seseorang ragu-ragu, apakah baru mengerjakan tiga rakaat atau sudah empat rakaat. Dialam kondisi seperti ini maka wajib untuk melakukan sujud sahwi.
Apabila seorang muslim merasa ragu-ragu, tiga atau empat rakaat dan tidak bisa memilih pilihan yang lebih mendekati kebenaran atau keyakinan tetap bimbang ragu antara bilangan jumlah rakaat yang sedikit atau yang banyak maka hendaknya memilih yang sedikit.
Namun apabila seseorang memiliki dugaan kuat dan mampu untuk mentarjih (menyatakan lebih kuat) salah satu dari kedua kemungkinan yang dirasakannya, maka hendaklah dia mengamalkan apa yang diyakininya, dan dia membangun sholatnya berdasarkan hal tersebut. Kemudian orang tersebut mengerjakan sujud sahwi dua kali berdasarkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wa sallam tentang orang yang ragu dan bimbang.
Dalil yang menunjukkan bahwa seorang yang mengalami keragu-raguan dalam bilangan rakaat shalat disyari’atkan atau diwajibkan untuk sujud sahwi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ta’âla ‘anhu secara umum,
Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian berdiri shalat, maka syaithan datang kepadanya lalu mengacaukan shalatnya sehingga dia tidak tahu berapa raka’at dia shalat. Maka apabila salah seorang mendapatkan peristiwa itu, maka hendaknya sujud sahwi dua kali ketika dia sedang duduk (tasyahud akhir).” (Hadits shahih riwayat Al-Bukhâri no. 1231). (*)