MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.ID – Wilayah Magelang tak hanya kaya akan objek wisata, kuliner dan keheterogenan masyarakatnya. Magelang juga menyimpan segudang sejarah religi yang sangat kental.
Para kekasih Allah ini mengemban amanah untuk menyebarluaskan agama Islam di tanah Magelang. Mereka adalah ulama besar yang masyhur di Pulau Jawa.
Hingga saat ini makamnya dijadikan tempat wisata religi atau berziarah dan sebagai perantara untuk bermunajat. Mereka meninggalkan petilasan berupa pondok pesantren yang hingga saat ini menjadi tempat menuntut ilmu agama.
1. Kyai Dalhar
Makamnya berada satu komplek pemakaman dengan Kyai Raden Santri di Gunung Pring Muntilan. Ia adalah seorang mursyid tarekat Syadziliyah yang memiliki pengaruh besar di Magelang, kesalehan dan karomahnya terkenal luas.
Kyai Dalhar lahir di kompleks Darussalam, Watucongol Muntilan pada 10 Syawal 1286 H atau 12 Januari 1870 M. Trahnya masih tersambung pada Raja Mataram Amangkurat III.
Dikisahkan Kyai Dalhar belajar dan tinggal di Mekah selama 25 tahun kemudian mendapat ijazah Mursyid Thoriqoh Syadziliyah daro Syaikh Muhtarom Al-Makki dan Sayyid Muhammad Amin Al-Madani.
Selama di Mekah konon ia tidak pernah buang air kecil dan air besar di tanah Haram. Sejumlah karya tulisnya di abadikan dalam kitab Tanwirul Ma’ani yang dijadikan rujukan para kyai. Tidak sedikit yang berguru pada Kyai Dalhar diantaranya Ky Mahrus Ali Lirboyo hingga Kyai Dimyati Banten.
Makamnya tak pernah sepi peziarah, setiap harinya mencapai ribuan pengunjung yang tidak hanya berasal dari Magelang saja. Hingga luar Pulau Jawa berkunjung ke makam kompleks Gunung Pring yang menyimpan segudang karomah didalamnya.
2. Syekh Subakir
Beliau adalah salah seorang ulama besar walisongo periode pertama yang diutus khalifah dari Kesultanan Turki Usmani, yaitu Sultan Muhammad I yang saat itu mendapat ilham dari mimpinya untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Sebelumnya telah datang ke Pulau Jawa beberapa ulama utusannya, namun mereka gagal menaklukkan tanah Jawa yang pada saat itu masyarakat Jawa memegang teguh kepercayaannya. Tak hanya itu, wilayah Jawa masih berupa hutan belantara angker yang dipenuhi makhluk ghaib dan jin jahat.
Diutuslah Syekh Subakir ulama asal Persia yang ahli dalam ruqyah, ekologi, meteorologi dan geofisika. Ia membawa batu hitam dari Arab yang dipasang di tengah tanah jawa tepatnya di puncak Gunung Tidar yang diakui sebagai pakuning tanah Jawa.
Syekh Subakir juga menggunakan pusaka berupa Tombak Kyai Sepanjang yang ditancapkan di puncak Tidar juga. Saat ini tombak masih dijaga oleh masyarakat dan ditempatkan di puncak tidar dengan nama Petilasan Makam Tombak Kyai Sepanjang.
Belum diketahui pasti kapan Syekh Subakir wafat, namun makamnya berada di Gunung Tidar, Magelang yang saat ini dijadikan wisata religi dan untuk berdoa bagi yang mempercayainya.
3. Kyai Siraj
Kyai Siraj Payaman, Magelang yang oleh masyarakat dikenal dengan panggilan Romo Agung, nama ini diberikan oleh tentara Belanda pada masa itu. Lahir pada tahun 1878 yang masih memiliki nasab keturunan dengan Jaka Tingkir.
Beliau telah mencapai maqam kelezatan dalam beribadah, mencapai ekstase tinggi dan shalat yang begitu lama ia mengira baru sebentar. Bersama Kyai Dalhar beliau menjalani pendidikan di Mekkah dan bersama KH. Hasyim Asyari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
4. Kyai Raden Santri
Makam Kyai Raden Santri yang berada di Gunung Pring Muntilan itu tak pernah sepi peziarah setiap harinya. Berkat kekaromahannya, banyak masyarakat yang percaya berdoa kepada Allah melalui perantara ini dapat terkabul hajatnya.
Ia bernama asli Pangeran Singasari, putra Ki Ageng Pemanahan pendiri kerajaan Mataram Islam. Karena dikenal alim dan nyantri ke sejumlah ulama sepuh maka ia kerap dipanggil Raden Santri.
Dalam riwayat hidup Mbah Raden Santri, beliau menyiarkan agama Islam di wilayah Kedu dan sekitarnya. Adapun karomahnya yaitu dapat menghentikan aliran lahar Gunung Merapi di Sungai Lamat saat ia hendak menyebrang sepulangnya dari berkholwat.
Akibatnya batu-batu besar kelihatan menonjol (mencongol) di tengah sungai yang kemudian tempat tersebut dinamakan Watucongol. Selain itu Mbah Santri pernah memindahkan alir Kali Lamat menggunakan tongkatnya (teken) untuk mempermudah jamaah untuk bersuci.
Diantara kekaromahannya yaitu kebal terhadap senjata yang digencarkan oleh Belanda dan dapat menghalau erupsi Gunung Merapi berkat doa dan dzikirnya. (mg1)