MAGELANGEKSPRES.COM – Dua pasangan yang sudah melakukan akad nikah maka masing-masing mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Islam telah mengaturnya secara lengkap terkait hak dan kewajiban sebagai suami dan isteri.
Namun begitu di era sekarang ini, ada yang menganggap suami dan isteri mempunyai hak dan tanggungjawab dalam menjalani kehidupan berumahtangga. Bahkan banyak suami isteri yang sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga anak-anaknya harus diasuh oleh pembantu atau diasuh kakek-neneknya, bahkan ada yang dititipkan di jasa penitipan anak.
Islam tidak melarang seorang wanita untuk bekerja. Namun berbeda kalau wanita itu telah menikah.
Islam sudah mengatur bahwa seorang suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan bekerja. Seorang isteri mempunyai tugas utama mendidik anak. Sehingga seorang isteri tak mempunyai kewajiban untuk bekerja.
Namun masih ada yang kurang memaham hal itu. Sehingga sebagian isteri memilih bekerja daripada fokus untuk menjaga dan mendidik anak di rumah. Bagaimana hukum isteri bekerja membantu suaminya? Apakah boleh meninggalkan rumah dan anak-anak untuk mencari nafkah?
Secara umum, Islam sudah mengatur bahwa tugas di luar rumah, seperti bekerja, ke masjid serta kegiatan yang bersifat lahiriyah lainnya lebih banyak didominasi oleh kaum pria. Sedang urusan rumah diserahkan kepada kaum wanita. Sebab kaum wanita sebagai pengurus rumah.
Hal ini sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya :
“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Dalam hadits juga disebutkan, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“ . . . Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).
Hukum asalnya wanita tidak dituntut untuk bekerja. Apalagi suaminya sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup. Namun begitu kalau suami mengizinkan isterinya bekerja dengan tujuan membantunya memenuhi kebutuhan rumah tangga maka diperbolehkan. Hanya saja perlu dipertimbangkan manfaat dan mudhaharatnya kalau seorang isteri bekerja di luar rumah. Tentu kalau memilih untuk berkhidmat secara maksimal kepada keluarga dengan ketulusan adalah jauh lebih mulia dan merupakan ibadah yang agung di dalam syariat kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya (bukan dalam dosa, pent.), maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad, 1/191 dan Ibnu Hibban 9/471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang peran seorang wanita ketika sudah berumahtangga. Jangan salah jalan karena menuruti hawa nafsu dunia yang bisa mengakibatkan seorang wanita terjebak dalam dosa sehingga akan diadzab dengan siksa di neraka. (*)