MAGELANGEKSPRES.ID – Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Syaban. Bulan Rajab mempunyai keutamaan sebagaimana yang dimiliki oleh 3 bulan haram lainnya yakni Dhulqodah, Dzulhijjah dan Muharram. Tak ada amalan khusus yang disyariatkan pada bulan Rajab.
Demikian pula tidak disyariatkan untuk melakukan amalan-amalan khusus pada bulan Dhulqodah, Dzulhijah dan Muharram.
Namun begitu syariat mengharuskan umat Islam memperbanyak amal-amal sholeh pada bulan haram, termasuk Rajab. Allah Ta’ala akan melipatkan pahala bagi umatnya yang melakukan amal-amal kebaikan pada 4 bulan tersebut.
Para ulama sunnah menyatakan tak ada amalan khusus namun setiap amal sholeh yang dikerjakan pada bulan Rajab akan mendapatkan pahala berlimpah.
Maka sebagai umat muslim yang taat tentu akan memperbanyak amal-amal sholeh pada bulan Rajab, seperti memperbanyak membaca Alquran, mengerjakan sholat sunnah, bersedekah, silaturahim, menuntut ilmu syar’i dan amal-amal kebaikan lainnya.
Kita tidak boleh mengkhususkan amalan tertentu dengan mengharapkan pahala tertentu dari Allah.
Demikian sebaiknya, bila seseorang melakukan kemaksiatan atau perbuatan-perbuatan dosa lainnya maka Allah juga akan melipatgandakan dosa-dosa tersebut. Jadi kalau kita melakukan perbuatan dosa pada bulan Rajab maka dosanya akan ditambah menjadi lebih berat.
Hukum Berkaitan Bulan Rajab
Ada banyak hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab, diantaranya hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah.
Namun, para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak.
Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus.
Ibnu Rajab menjelaskan, tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut. (Lathoif Al Maarif, 210)
Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan atiiroh atau Rojabiyyah (dilakukan pada bulan Rajab).
Para ulama berselisih pendapat apakah hukum atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam.
Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro dan atiiroh. (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, tidak ada lagi atiiroh dalam Islam. Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah.
Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan atiiroh pada bulan tersebut.
Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.
Ibnu Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ied. Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari Tasyriq.
Dan kita dilarang membuat ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ied. (HR. Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu Abbas (mauquf).
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu Abbas secara marfu yaitu sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ied selain apa yang telah dikatakan oleh syariat Islam sebagai ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari Tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun.
Sedangkan ied setiap pekannya adalah pada hari Jumat. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bidah). (Latho-if Al Ma’arif, 213). (sumber dari kajian islam)