MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.ID – Fenomena kenakalan remaja dengan senjata tajam atau klitih semakin menyedot perhatian berbagai pihak termasuk instansi pemerintah, Anggota DPRD, hingga akademisi. Kasus ini viral di media sosial bahkan sempat membuat nama Magelang trending di Twitter, pada Selasa, 7 Maret 2023.
Kepala Seksi Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP4KB) Kota Magelang, Eny Mariyatiningsih, mengaku prihatin melihat kejadian yang dilakukan oleh siswa salah satu sekolah dari Kota Magelang itu.
“Tentunya hal ini menjadi perhatian lebih lagi, kami juga terus berkoordinasi dengan teman-teman di kabupaten untuk menindaklanjuti kasus ini,” katanya kepada wartawan, Selasa, 7 Maret 2023.
Pemahaman Aktualisasi yang Salah Menyebabkan Anak Melakukan Aksi Kejahatan
Kata Eny, usia remaja merupakan fase yang rawan di mana psikologis mereka masih rentan dan labil. Pada proses ini sering digunakan untuk mengaktualisasikan diri atau mendapat pengakuan dari publik.
“Awalnya banyak yang hanya ikut-ikutan lalu anak ini ingin mengaktualisasikan diri sebagai orang yang paling hebat atau jagoan. Padahal dari pihak kami juga sudah tidak kurang-kurang sosialisasi dan merapatkan barisan bersama pihak berwajib untuk melakukan upaya preventif,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dia turut meminta kepada pihak pemerintah dan stakeholders terkait agar lebih intensif dalam memberikan sosialisasi, pendampingan, serta pembinaan kepada anak-anak remaja khususnya dari SD hingga SMA.
Perubahan Sosial Memengaruhi Aksi Tindak Kejahatan Anak
Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tidar Magelang, Apsari Wahyu Kurnianti berpendapat bahwa klitih sendiri merupakan fenomena yang dilatarbelakangi oleh faktor perubahan sosial.
“Ini masuk ke dalam ranah perubahan sosial dimana penggunaan teknologi menjadi medium yang digunakan oleh sekelompok komunitas untuk menunjukkan eksistensinya. Ini yang membuat anak muda menangkap arti eksistensi dengan menunjukkan diri dengan meresahkan masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, komunitas klitih adalah warisan turun temurun yang perlu dikaji dan diteliti lebih dalam. Hal tersebut akan memudahkan pihak berwajib untuk mengurai jaring komunitas klitih baik dari struktur, pengelolaan hingga penyebab hadirnya klitih di tengah masyarakat.
“Kita perlu mengetahui core masalah dari klitih sendiri, sehingga perlu peran serta dari masyarakat, orang tua dan pemerintah saling membantu mencari akar masalah agar bisa menyiapkan langkah penanganan yang tepat,” ungkapnya.
Kedepan, lanjut Apsari, ini menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh pihak dari baik lingkungan primer hingga tersier yang berdekatan dengan anak.

Klitih Imbas dari Kurangnya Perhatian Terhadap Anak
Hal yang sama juga diutarakan Anggota Komisi A DPRD Kota Magelang, Tyas Anggraeni. Dia mengaku prihatin atas kejadian ini. Menurutnya, hal itu dapat diantisipasi dengan baik jika kolaborasi antar-stakeholder berjalan sesuai harapan.
“Cukup mengkhawatirkan dan tentunya menjadi keprihatinan bersama karena fenomena ini sudah seperti bom waktu yang pada intinya mencari eksistensi untuk diakui keberadaannya baik secara pribadi maupun kelompok dalam pencarian jati diri,” ujar Tyas kepada wartawan, Selasa, 7 Maret 2023.
Ia menyebut, faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya tindak kejahatan klitih adalah labilnya pemikiran anak serta kurangnya pengetahuan akan dampak yang ditimbulkan.
Hal itu tentunya berkaitan erat dengan mental dan karakter seorang anak yang mana telah dibangun di sekolah dengan cukup baik. Oleh karena itu, diperlukan adanya keterlibatan dalam pengawasan anak baik dari unsur keluarga, sekolah maupun lingkungan.
“Dalam hal ini fondasi utama yang paling kuat adalah keluarga sebagai madrasah pertama. Di keluarga anak harus punya basic apa yang boleh dan tidak. Meskipun ada banyak faktor lingkungan yang bisa memengaruhi, tapi jika punya basic yang kuat. Kemudian hal itu didukung dengan pengawasan baik di sekolah, keluarga maupun lingkungan hal itu akan minim terjadi,” lanjutnya.
Dengan terjadinya hal ini, Tyas menyebut diperlukan adanya pendidikan hukum terhadap dampak akibat dari setiap tindakan yang dilakukan. Menurutnya, hal itu tetaplah sebuah tindak kriminal yang harus ditegakkan meskipun dilakukan oleh anak dibawah umur.
“Tindakan awal mungkin dengan melokalisir pergerakan negatif dari kelompok tersebut. Setelah itu, tindakan selanjutnya tetap harus disesuaikan dengan regulasi yang berlaku, biar pun nanti konteksnya tetap pembinaan. Karena hal ini sudah masuk ranah kriminal yang menimbulkan keresahan,” tegasnya.
Tyas berharap, kejadian ini tidak menjadi tren negatif di kalangan pelajar terutama anak-anak di Kota Magelang. Termasuk juga nama instansi sekolahnya. Jangan sampai terimbas negatif, hanya karena ulah segelintir oknum.
“Semoga saja hanya segelintir oknum. Masih banyak anak-anak yang baik, punya cita-cita yang baik, dan tentunya masa depan yang baik. Intinya berpikir sebelum bertindak,” pungkasnya. (mg3/mg4)