MAGELANGEKSPRES.ID – Niat adalah salah satu dari rukun puasa yang harus dikerjakan oleh seseorang yang ingin mengerjakan ibadah puasa. Tanpa niat berarti puasanya tidak sah atau tidak dihitung sebagai puasa.
Niat cukupkah di dalam hati, tak perlu diucapkan. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam serta para sahabat. Namun begitu ada perbedaan niat puasa wajib Ramadan dan puasa sunnah. Agar mendapatkan tambahan ilmu yang bermanfaat dan tidak keliru dalam mengamalkannya maka simak penjelasan tentang niat puasa wajib Ramadan dan puasa sunnah berikut ini :
Niat Puasa Wajib Ramadan
Mencontoh puasa Rasulullah maka niat puasa hendaklah dilakukan di dalam hati tak perlu diucapkan secara lisan. Adapun niat puasa wajib Ramadan harus dilakukan pada malam hari sebelum masuk waktu fajar (Subuh).
Dalilnya,
Hadits no. 656 dari kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar membawakan hadits:
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ } رَوَاهُ الْخَمْسَةُ ، وَمَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ إلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ ، وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ – وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ { لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنْ اللَّيْلِ }
Dari Hafshoh Ummul Mukminin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” Hadits ini dikeluarkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah. An Nasai dan Tirmidzi berpendapat bahwa hadits ini mauquf, hanya sampai pada sahabat (perkataan sahabat). Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbah menshahihkan haditsnya jika marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam riwayat Ad Daruquthni disebutkan, “Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat ketika malam hari.”
Beberapa Faedah dari Hadits di Atas :
1. Hadits ini menunjukkan bahwa puasa mesti dengan niat sebagaimana ibadah lainnya. Sebagaimana kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْعِبَادَةَ الْمَقْصُودَةَ لِنَفْسِهَا كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ لَا تَصِحُّ إلَّا بِنِيَّةِ
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa ibadah yang dimaksudkan langsung pada zat ibadah itu sendiri seperti shalat, puasa, dan haji, maka haruslah dengan niat.” (Majmu’ Al Fatawa, 18: 257).
2. Letak Niat itu di Dalam Hati. Jadi, kalau sudah terbetik dalam hatinya untuk berpuasa keesokan harinya, maka ia sudah dikatakan berniat.
3. Niat puasa wajib seperti Ramadan mesti dilakukan di malam hari. Waktunya dimulai dari waktu Maghrib hingga sebelum fajar (Subuh). Ash Shon’ani dalam Subulus Salam mengatakan cukup mendapati niat pada sebagian malam. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa seandainya akhir malam pun masih bisa digunakan untuk berniat, asalkan sebelum fajar (Subuh).
4. Yang tidak melakukan niat di malam hari ketika melaksanakan puasa wajib Ramadan maka puasanya tidak sah.
Sebagai tanda seseorang sudah dikatakan berniat adalah ia bangun makan sahur berarti sudah terbetik niat dalam hatinya untuk puasa. Begitu pula jika seseorang sudah mempersiapkan makan sahur, meski akhirnya tidak bangun makan sahur, maka sudah dikatakan pula berniat.
5.Niat puasa mesti dilakukan berulang pada setiap malamnya karena puasa setiap harinya adalah puasa yang berdiri sendiri. Demikianlah pendapat Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad. Dalil mereka adalah hadits yang kita bawakan kali ini. Sehingga jika ada yang tidur setelah ‘Ashar dan baru bangun setelah terbit fajar shubuh keesokan harinya, maka puasanya tidak sah karena ia tidak ada niat di malam hari.
Niat Puasa Sunnah
Sama dengan puasa wajib, niat puasa sunnah cukup di dalam hati. Namun untuk puasa sunnah ada keringanan boleh berniat di pagi hari, asalkan belum menyantap makanan apa pun atau belum melakukan pembatal-pembatal puasa.
Dalilnya,
Hadits no. 657 dari kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar disebutkan hadits,
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154).
Beberapa Faedah dari Hadits di Atas :
1.Boleh Berniat Puasa Sunnah di Pagi Hari
Hal ini menandakan bahwa puasa sunnah tidak disyaratkan tabyiytun niat (berniat di malam hari). Namun hanya berlaku untuk puasa sunnah mutlak. Sedangkan puasa sunnah tertentu (mu’ayyan) yang dikaitkan dengan waktu tertentu maka sama dengan puasa wajib harus ada tabyiytun niat, yaitu niat di malam hari sebelum fajar (Subuh). Misalnya seseorang yang melaksanakan puasa sunnah ayyamul bidh (13, 14, 15 Hijriyah) maka ia harus ada niat puasa sunnah sejak malam. Baik puasa sunnah mu’ayyan (tertentu) maupun puasa wajib maka harus ada niat puasa sejak malam hari. Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah.
2. Sah Jika Berniat Puasa Sunnah Mutlak dari Pagi Hari
Seperti misalnya niat dari jam 10 pagi asalkan sebelumnya tidak melakukan pembatal puasa di antaranya makan dan minum. Namun pahala yang dicatat adalah dari niat mulai berpuasa karena setiap amalan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang dibalas sesuai dengan apa yang diniatkan. (Lihat penjelasan Syarh Bulughil Marom karya Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin mengenai hadits ini).
3. Batasan Waktu Niat Puasa Sunnah
Ada dua pendapat terkait batasan waktu niat puasa sunnah, yakni pendapat pertama, tidak boleh setelah pertengahan siang sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya. Pendapat kedua, boleh sebelum atau sesudah waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat) karena tidak disebutkan batasan dalam hal ini. Inilah al qoul jadid (pendapat terbaru) dari Imam Syafi’i dan menjadi pegangan Imam Ahmad.
4. Boleh Membatalkan Puasa Sunnah
Diperbolehkan membatalkan puada sunnah jika ada maslahat atau kebutuhan, demikian kata para ulama. Akan tetapi, apakah ada qadha dalam hal ini? Jawabanya, tidak ada keharusan qadha.
5. Boleh Menampakkan Amalan Sholih yang Sebenarnya Bisa Disembunyikan
Seperti dalam hadits ini disebutkan, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.”Dan bisa saja Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menyebutkan perihal niatan puasanya pagi hari. Namun beliau menyebutkan demikian dalam rangka pengajaran pada kita selaku umatnya.
6. Setiap Amalan Sunnah Boleh Dibatalkan Jika Ada Maslahat atau Dalam Keadaan Butuh (ada hajat)
Adapun untuk jihad sunnah, maka jika sudah berhadapan dengan musuh tidak bisa melarikan diri. Begitu pula haji dan umrah yang sunnah tidak boleh diputus kecuali jika dalam keadaan darurat, terhadang atau ada syarat yang dipersyaratkan ketika berniat ihram. (*)
Sumber : rumaysho.com