TEMANGGUNG, MAGELANGEKSPRES.ID – Kurang lebih dua pekan menjelang Ramadan, masyarakat di lereng Gunung Sindoro, Sumbing dan Prau yang masuk wilayah Kabupaten Temanggung menggelar nyadran (selamatan desa). Setidaknya ada tiga desa yang menggelar nyadran.
Bagi masyarakat Temanggung yang masih sangat kental dengan budaya warisan peninggalan pendahulu mereka, nyadran menjadi tradisi yang mendarah daging dan wajib dilakukan saat akan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Desa Kembangsari salah satu desa di Kecamatan Kandangan menggelar nyadran. Kyai Ibrohim merupakan sesepuh sekaligus tokoh agama yang menggerakkan Agama Islam di Desa Kembangsari dan dimakamkan di pekuburan setempat yang sampai saat ini beberapa warga masih mengeramatkan.
Kades Kembangsari Mujiyanto mengatakan, bahwa sadranan kali ini merupakan yang pertama diadakan pasca pandemi.
“Alhamdulilah, masyarakat sangat antusias terbukti dengan banyaknya yang hadir,” ungkapnya.
Bupati Temanggung sebagaimana disampaikan oleh Asisten I Pemerintahan dan Kesra, Samsul Hadi turut hadir sekaligus mengapresiasi kegiatan nyadran ini.
Hal ini membuktikan, bahwa masyarakat Desa Kembangsari guyub rukun, bersatu untuk melaksanakan sadranan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan oleh Allah SWT.
Tidak hanya itu, Desa Tlilir Kecamatan Tlogomulyo juga menggelar srobong gobang,tradisi ini tidak jauh dari tradisi nyadran di tempat lain, hanya saja kemasan dari srobong gobang lebih identik dengan petani tembakau yang melakukan selamatan menjelang musim tanam.
Di sisi lain nyadran juga menjadi momen bagi keluarga untuk berkumpul, bahkan di beberapa desa di Temanggung, prosesi tradisi nyadran dianggap lebih sakral dari perayaan Idul Fitri. Sehingga bagi perantau mereka akan menyempatkan waktu mereka untuk pulang kampung.
“Setiap nyadran saya pasti pulang bersama anak dan istri, karena saat Lebaran belum tentu pulang,” tutur Rasidi Warga Selopampang yang bekerja di Kalimantan ini, kemarin.
Bagi dirinya, nyadran menjadi tradisi yang tidak bisa dilewatkan, dengan nyadran dirinya bisa berkumpul dengan sanak saudaranya di kampung halamannya yang berada di lereng Gunung Sumbing.
Apalagi katanya, dua tahun dirinya tidak bisa pulang kampung mengikuti nyadran dan merayakan Idul Fitri di kampung halaman, karena dua tahun lalu pandemi Covid-19 masih sangat ganas.
“Alhamdulillah tahun ini bisa pulang, mungkin berangkat lagi setelah perayaan Lebaran, soalnya masih kangen dengan keluarga dan ingin berjelajah Temanggung, katanya banyak tempat wisata yang bagus,” tuturnya.
Selain itu, Nyadran juga ditujukan untuk mendoakan arwah para leluhur, khususnya yang sangat berjasa telah membuka lahan untuk dijadikan tempat tinggal yang sekarang sudah banyak terdapat rumah permanen.
Seluruh warga yang mengikuti sadranan atau nyadran selalu menggunakan tenong yang berisikan nasi tumpeng, ingkung ayam, olahan sayur hingga buah seperti pisang.
Selain warga lokal, tidak sedikit warga dari luar desa mengikuti nyadran tersebut, bahkan sampai membawa seluruh anggota keluarganya.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, setelah usai melakukan sadranan, warga disuguhkan pengajian singkat yang bertemakan wujud syukur atas berkah yang didapat dari Sang Pencipta oleh pemuka agama setempat. (set)